Cara Memotivasi Diri untuk Belajar
Mereka
umumnya baru merasakan kebutuhan biologis. Sedang manusia hidup dalam
masyarakat, bukan menyendiri; masyarakat tempat pelbagai kemampuan dan
kecakapan dituntutnya. Anak harus belajar dan harus mengerti mengapa
harus belajar. Maka menyadarkan dan meyakinkan anak akan arti terdidik
bagi kedudukan orang dalam masyarakat, menyadarkan dan meyakinkan akan
manfaat bahan-bahan pelajaran yang disajikan oleh sekolah bagi kehidupan
kelak sesudah meninggalkan sekolah dan sebagainya merupakan usaha-usaha
memotivasikan tindakan belajar si anak.
Dalam sejarah Ovide Decroly
misalnya, terkenal sebagai orang yang memperhatikan peranan dari pada
motivasi dalam belajar. Bahan-bahan pelajaran dipilihnya dengan teliti
dan didasarkan pada pokok-pokok yang disebutnya sebagai pusat-pusat
minat atau “center d’interset”, Untuk itu diseledikinya berbagai
kecenderungan yang ada pada anak, terutama dorongan memperoleh kepuasan
diri. Dengan cara demikian dibedakan empat pusat minat pada, yaitu yang
berhubungan dengan makanan, pakaian, pertahanan diri dan permainan diri
dan permainan atau pekerjaan. Maka jelaslah bahwa belajar itu harus
disertai motif. Tanpa motif, tindakan belajar tidak akan mencapai hasil
yang memadai.
Kerapkali
kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang tertentu kurang
disadari oleh anak, sehingga guru atau sekolah harus membuat tujuan
sementara atau buatan. Sebagai contoh, guru atau sekolah tentu ingin
mengarahkan belajar ke tujuan yang tertentu dan untuk itu diperlukan
adanya peningkatan aktivitas belajar anak. Tetapi usaha peningkatan ini
tidaklah mudah, maka diciptakanlah tujuan buatan (artificial).
Misalnya dikeluarkanlah peraturan atau janji, bahwa barang siapa dapat
menunjukkan prestasi belajar yang paling baik di kelasnya, akan
mendapatkan gelar “bintang kelas”, atau yang paling baik prestasi belajarnya di sekolah akan mendapat gelar “bintang sekolah”. Maka murid-murid akan saling berlomba, mereka berusaha belajar dengan giat, karena memperoleh gelar “bintang” tersebut sudah merupakan kebutuhan, dalam hal ini kebutuhan sosial.
Dengan
gelar itu mereka merasa memperoleh penghargaan, kehormatan, bahkan
simbol pujian, terutama dari orangtuanya. Maka kini tindakan belajar
mereka sudah merupakan tindakan bermotif, yaitu berdasar adanya
kebutuhan yang dirasakan dan terarah kepada tercapainya tujuan, yaitu
mendapat “piagam” atau dan sebagainya. Itu bagi si anak didik.
Tetapi dilihat dari pihak sekolah atau guru pemberian piagam atau tanda
lain itu bukanlah tujuan pendidikan yang hakiki, melainkan sebagai alat
untuk menimbulkan tindakan belajar yang beromotif, yang dengan faktor
itu diharapkan akan tercapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Proses
penggunaan tujuan buatan (sementara) untuk menimbulkan aktivitas yang
diperlukan dalam mencapai tujuan yang sesungguhnya merupakan proses
kondisioning. Tujuan buatan, yang dimaksudkan agar dikejar oleh anak
didik dengan aktivitasnya itu lazim disebut sebagai reinfocer34.
Robert H. Davis mengemukakan 9 prinsip belajar mengajar yang dapat memotivasi siswa agar mau dan dapat belajar sebagai berikut:
1. Prinsip Prerikwisit (Prasyarat)
Siswa
terodorong untuk mempelajari sesuatu yang baru bila telah memiliki
bekal yang merupakan prasyarat bagi pelajaran itu. Bila guru mengabaikan
hal ini bisa menimbulkan kebosanan bagi siswa-siswa yang telah
menguasai dan sebaliknya atau menimbulkan frustrasi bagi siswa-siswa
merasa sukar dan tidak dapat menguasainya.
2. Prinsip Kebermaknaan
Siswa
termotivasi untuk belajar bila materi pelajaran itu bermakna baginya.
Oleh sebab itu hendaknya guru dalam menyampaikan materi pelajaran
dihubungkan dengan apa yang dialaminya, dihubungkan dengan kegunaan di
masa depan dan dihubungkan dengan apa yang menjadi minatnya.
3. Prinsip Modeling
Siswa termotivasi untuk menunjukan tingkah laku bila sekiranya tingkah laku itu dimodelkan oleh gurunya (Performance Modeling).
Dalam hal ini siswa akan lebih suka menuruti apa yang dilakukan oleh
gurunya dari pada yang dikatakan, sehingga di sini berlaku prinsip “The Medium is the Message”.
4. Prinsip Komunikasi Terbuka
Siswa
termotivasi untuk belajar bila informasi dan harapan yang disampaikan
kepadanya terstruktur dengan baik dan komonikatif. Dalam hal ini Bruner
meyarankan agar pengajaran menjadi lebih efektif perlu materi pelajaran
distrukturkan dengan baik dengan pengolahan pesan yang komunikatif.
Salah satu contoh dari prinsip ini ialah: perumusan dan pemberitahuan
tujuan instruksional dengan jelas, menggunakan kata-kata yang sederhana
sehingga mudah dimengerti oleh siswa.
5. Prinsip Atraktif
Siswa termotivasi untuk belajar pesan dan informasinya disampaikan secara menarik (atraktif).
Oleh karena itu guru harus selalu berusaha menyajikan materi pelajaran
dengan cara manarik perhatian, dan alangkah baiknya kalau setiap materi
pelajaran dapat diikuti dan diterima siswa dengan perhatian yang cukup
intensif.
6. Prinsip Partisipasi dan Keterlibatan
Siswa
termotivasi untuk belajar apabila merasa terlibat dan mengambil bagian
aktif dalam kegiatan itu. Dengan demikian guru perlu menerapkan konsep
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dalam pelakasanaan proses belajar
mengajar, karena dengan konsep ini siswa mengalami keterlibatan
intelektual emosional di samping keterlibatan fisik didalam proses
belajar mengajar.
7. Prinsip Penarikan Bimbingan Secara Berangsur
Siswa
termotivasi untuk belajar jika bimbingan dan petunjuk guru
berangsur-angsur ditarik. Penarikan itu mulai dilaksanakan bila
siswa-siswa sudah mulai mengerti dan menguasai apa yang sudah
dipelajari.
8. Prinsip Penyebaran Jadwal
Siswa
termotivasi untuk belajar bila program-program belajar mengajar
dijadwalkan dalam keadaan tersebar dalam periode waktu yang tidak
terlalu lama. Program-program belajar mengajar dalam waktu yang lama dan
secara berturut-turut cenderung akan membosankan siswa.
9. Prinsip Konsekuen dalam Kondisi yang Menyenangkan
Siswa
termotivasi untuk belajar bila kondisi instruksionalnya menyenangkan,
sehingga memberi kemungkinan terjadinya belajar secara optimal.
Motivasi
yang bersifat intrinsik mempunyai peranan yang ampuh dalam peristiwa
belajar, tetapi walaupun memberikan tugas. Dalam memberikan tugas kepada
murid-murid harus dilihat dan diingat hubungan tingkat kebutuhan murid
dan tingkat motivasi yang akan dikenakan. Guru harus cerdik melibatkan
“ego involement” murid. Bila motivasi tersebut dikenakan secara tepaat
akan menyentuh ego involvement murid, sehingga setiap tugas yang
memberikan akan dianggap sebagai tantangan, hal ini menyebabkan yang
bersangkutan akan mempertahankan harga dirinya untuk menyelesaikan
tugasnya dengan penuh semangat. Murid akan merasa puas dan harga dirinya
timbul bila dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar